Batulicin,Kalimantanhits com- Jamu adalah warisan leluhur, Kata jamu berasal dari bahasa Jawa kuno, yaitu jampi atau usodo. Jampi atau usodo memiliki arti penyembuhan menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa. Istilah jampi banyak ditemukan pada naskah kuno, seperti pada naskah Gatotkacasraya yang ditulis oleh Mpu Panuluh dari Kerajaan Kediri pada masa Raja Jayabaya.
Jamu merupakan warisan leluhur yang sangat berharga. Minuman ini telah memegang peranan penting dalam pemeliharaan kesehatan dan kebugaran masyarakat nusantara sejak ratusan tahun silam.
Secara sederhana, jamu dapat juga disebut sebagai obat herbal asli Indonesia yang diracik menggunakan bahan-bahan alami untuk menjaga kesehatan dan juga menyembuhkan penyakit. Bahan-bahan yang digunakan cukup mudah ditemukan di lingkungan seperti daun, rimpang, batang, buah, bunga, dan kulit batang.
Jamu sendiri memiliki beberapa jenis, mulai dari yang berbentuk kapsul, tablet, sachet, hingga tradisional seperti jamu gendong. Dari berbagai jenis tersebut, jamu tradisional atau yang lebih dikenal dengan jamu gendong masih digemari masyarakat dari bermacam kalangan.
Apakah kalian pernah melihat ibu-ibu yang menggendong bakul berisikan botol-botol jamu yang sering mangkal di polres Tanah Bumbu? Biasanya, anggota Polres Tanah Bumbu memanggil beliau dengan nama simbok Jamu penjual jamu gendong.Nama lengkapnya adalah Suliyanti dan saat ini sudah berumur 56 tahun.
Suliyanti als mbok Jamu ini setiap hari nya mangkal di polres tanah bumbu dan berkeliling dari ruangan ke ruangan yang ada dipolres tanah bumbu untuk menjajakan jamu gendong yang dibawanya kepada anggota polisi.
Selain itu juga banyak pengunjung yang bingung ketika mau bikin SIM dan selalu dibantu oleh suliyanti mearahkan petunjuk jalan menuju tempat pembuatan SIM maupun Warga yang hendak membuat SKCK.
Suliyanti yang dikenal sangat ramah dan sopan ini kepada awak media mengatakan bahwa dirinya sudah 20 tahun berjualan jamu gendong ini di polres tanah bumbu.
Tak ayal jika petugas polisi yang bertugas dipolres tanah bumbu banyak yang kenal dan sangat akrab dengan beberapa orang pejabat polres tanah bumbu yang sering membeli dagangannya.
” Saya bertugas disini sudah lama, masuk jam 9 pagi dan pulang sekitar jam 13.00 wita, pakaian dinas saya ya seperti ini, dan saya tidak pernah mengikuti apel,” candanya.
Suliyanti pun menambahkan ” alhamdulillah mas, petugas polisi ditanah bumbu ini orangnya ramah-ramah dan mengijinkan saya untuk mencari nafkah dengan menjajakan jamu gendong yang saya bawa,”tambahnya.
Banyak anggota polisi baik yang junior maupun senior yang setiap hari membeli jamu yang saya bawa, dan kalau masalah di godai itu sangat sering karena saya juga suka bercanda dan sudah saya anggap seperti keluarga,”tutupnya sembari menuangkan jamu kepada pelanggan.
Jamu gendong adalah jamu hasil produksi rumahan (home industry). Jamu ini dijajakan dengan cara memasukkannya ke dalam botol-botol. Kemudian, botol-botol ini disusun secara rapi di dalam bakul. Setelah itu, penjual jamu akan menggendong bakul yang berisi jamu tersebut saat berjualan. Itulah sebabnya, jamu ini dikenal sebagai jamu gendong.
Biasanya para penjual jamu gendong memasarkan dagangannya dengan cara berkeliling setiap hari. Penjual jamu gendong kebanyakan adalah kaum hawa. Hal ini karena dahulu tenaga laki-laki lebih diperlukan dalam bidang pertanian.
Hal yang membuat menarik dari jamu gendong adalah cara membawa barang dagangannya, yaitu digendong menggunakan kain batik, jarik, dan sebagainya. Ini adalah ciri khas perempuan Jawa dari dulu, bahkan sampai saat ini. Tidak hanya jamu, dagangan lain seperti pecel, nasi liwet, dan juga aneka jajanan juga sering dijajakan dengan cara digendong.
“Menggendong” memiliki arti dan makna tersendiri. Menggendong identik dengan seorang ibu yang memomong anak kecil. Jadi, perempuan Jawa menggendong barang dagangannya (rezeki) seperti membawa anak kecil yang harus dilakukan dengan lemah lembut dan telaten.
Siapa sangka jamu sudah ada sejak zaman dahulu? Terdapat banyak sekali bukti sejarah yang menyebut bahwa jamu telah ada pada zaman kerajaan Hindu-Buddha. Relief yang menggambarkan pembuatan atau penggunaan jamu ditemukan pada beberapa candi di Indonesia seperti Candi Borobudur, Prambanan, Penataran, Sukuh, dan Tegalwangi.
Selain dari relief candi, jamu juga ada dalam Prasasti Madhawapura peninggalan Kerajaan Majapahit. Dalam prasasti, disebutkan bahwa profesi peracik jamu yang disebut dengan acaraki. Seorang acaraki harus berdoa terlebih dulu sebelum meracik jamu. Ia juga harus bermeditasi dan berpuasa sebelum meramu jamu.
Semua ini harus dilakukan supaya ia bisa merasakan energi positif yang bermanfaat untuk kesehatan. Ritual ini dilakukan karena masyarakat Jawa kuno percaya bahwa Tuhan adalah sang penyembuh sejati.
Awalnya, jamu hanya diperuntukkan bagi kalangan istana kerajaan. Namun lambat-laun akhirnya jamu mulai didistribusikan untuk masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya banyak pedagang yang berjualan jamu secara berkeliling. Laki-laki membawanya dengan dipikul, perempuan membawanya dengan digendong. (Kalhits/afn)